Setetes Air
“Ibu, aku haus.”
Seorang wanita yang sudah berusia
lebih dari 40 tahun itupun menengok ke arah panggilan itu. Ia melihat anaknya
menarik bajunya perlahan, tapi ia bisa merasakan betapa kencangnya ia meremas
baju ibunya itu. Ia melihat anaknya
menatapnya dengan penuh harap.
“Ya, Ibu tahu. tapi kamu harus
sabar. Orang lain juga perlu minum,” jawab Ibunya. Terasa sesak baginya karena
harus membuat anaknya merasakan kehausan. Tapi apa daya, desa yang mereka
tempati sedang dilanda kekeringan. Seluruh desa menganteri menunggu gilirannya.
“Ibu sudah bilang itu 3 kali! Aku
ingin minum!” teriak anaknya. Ia hanya dapat melihat anaknya menahan nangis. Ia
sendiri tidak tega membiarkan anaknya kehausan, bahkan dirinya juga kehausan
sampai sulit hanya untuk berbicara.
“Tenang, kalau kamu berteriak kamu
akan lebih haus nantinya. Ibu tahu kamu haus dan Ibu mohon agar kamu menunggu
sebentar lagi.” Ibunya berjongkok untuk menenangkan anaknya itu. Ia mengelus
pundaknya dan tersenyum, walaupun ia sebenarnya juga sudah kesakitan hanya
untuk mengucapkan kalimat itu.
Anaknya hanya menunduk dan menahan
isaknya. Ia sama sekali tidak menyadari kesakitan yang dirasakan ibunya.
“Selalu saja begini! Padahal aku cuma mau minum!” ia berteriak lebih kencang
dan menangis membasahi pipinya.
“Sst.. nak, jangan begitu. Kalau
kamu menangis kamu akan lebih cepat haus. Jangan membuang-buang tenaga.
Sabarlah, Ibu mohon.” Ibunya berkata menahan rasa sakit di tenggorakan dan
dadanya. Serasa dadanya ditusuk karena harus melihat anaknya dalam kondisi
seperti ini. Ia tidak pantas untuk dipanggil ibu. Ia menahan air yang mulai
menggenang di matanya.
Mereka sudah menunggu selama 2 jam
sampai akhirnya tibalah giliran mereka untuk minum. Sesampainya di sana anak
itu langsung meneguk semuanya tanpa ada satu tetes pun yang tersisa. Setiap
orang yang datang mendapat hanya mendapat satu giliran untuk minum satu gelas.
Biasanya Ibu itu akan langsung
memberi anaknya gelasnya tanpa keraguan untuk segera dihabiskan oleh anaknya.
Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Ibunya tersenyum melihat anaknya
menghabiskan seluruh air dalam gelas itu tanpa menyisakan satu tetes pun.
Ibu itu menelan air ludah menahan
hausnya. Dan setiap telan rasanya seperti menelan jarum. Anaknya tersenyum
melihat Ibunya dan terus menerus membicarakan betapa segarnya rasa air itu.
“Iya kamu harus banyak minum ya
nak.” kata Ibunya sambil perlahan
penglihatannya buyar. Ia menutup matanya sambil tersenyum.
PKT
Pricillia Altanny
XI IPA 3
29
No comments:
Post a Comment